Batu Raden, Makna Perjalanan dan Memori di Lereng Selatan Gunung Slamet
Berpetualang sekalian
bersosialisasi.Perjalanan ku kali ini merupakan perjalanan lintas keluarga, lintas usia dan lintas hobi. Setelah menjalankan
rutinitas sehari-hari, tidak ada salahnya menjejakkan kaki ke beberapa tempat untuk
mengenal Indonesia lebih jauh. Batu Raden adalah tempat tujuan kami, 10 tahun lalu tepatnya saat aku kelas 5 SD aku pernah menginjakkan kaki ku ke tempat ini.
sesi foto bersama, lintas usia, lintas hobi dan lintas keluarga (dokpri) |
Pagi, 19 Januari 2014
bertepatan dengan hari Minggu, pukul 06.00 kami berangkat. Harap-harap cemas
karena cuaca pagi itu mendung. Di setiap perjalanan, aku lebih memilih saat cuaca cerah (menurutku cuaca cerah akan mendukung perjalanan menjadi lebih
maksimal). Kali ini seperti mengingat kembali memori 10 tahun lalu, di bis aku
duduk bersebalahan dengan teman akrab ku. Sepanjang perjalanan, disaat yang
lain tertidur dan menunjukkan muka jenuhnya karena jalan yang kami lewati rusak
parah, aku dan teman ku yang satu ini tak henti-hentinya bercerita tentang
pengalaman satu sama lain. Mulai dari hobi, selera musik, kesibukan
masing-masing bahkan cerita konyol saat kami duduk bersama di bangku SD dan
SMP.
Empat jam berlalu, tetapi kami
masih asik bercerita. Hingga akhirnya kami berdebat di mana lokasi Batu Raden
yang sebenarnya. Teman ku bilang Purwokerto, aku bilang Banyumas, mana yang
benar???Sesampainya di depan
pintu masuk, ada sesuatu yang menarik sehingga mengalihkan perhatian ku sesaat. Ibu-ibu setengah baya dengan tanaman bonsainya.Ya...manusia saat ini dengan segala ilmu pengetahuannya ,mampu menyulap tanaman yang semula biasa menjadi hiasan-hiasan cantik seperti bonsai-bonsai ini.
Bonsai yang unik, lucu dan imut-imut (dokpri) |
Ke tempat wisata yang memiliki beragam pilihan fasilitas, kita dapat memilih apa yang kita anggap menarik. Karena Batu Raden terletak di lereng selatan Gunung Slamet di sana kita dapat menemukan fasilitas berupa outbond, pemandian air panas,
kuliner khasnya yakni tempe kemul (sejenis mendoan dalam ukuran jumbo) dan pemandangan alam. Tiket masuk Rp.10.000,- tetapi jika ingin menuju
ke pancuran 3 maka harus membayar retribusi lagi sebesar Rp 7.500,- demikian
juga di Pancuran 7 atau lokasi kolam renang dan air mancur (tarif retribusi dapat berubah).
Pancuran 3 menjadi pilihan pertama kami. Di
pancuran 3 ini terdapat sumber mata air panas yang digunakan oleh
wisatawan untuk berendam. Saya justru tertarik mengambil gambar sumber air
panas tersebut, sambil bertanya-tanya pada penjaga yang berada di tempat
tersebut. Karena penasaran, saya bertanya apakah sumber air panas tersebut
sering bergejolak saat musim penghujan tiba, ternyata tidak. Hanya saat Gunung
Slamet aktif saja, maka sumber-sumber air panas tersebut kadang bergejolak.
salah satu titik sumber air panas (dokpri) |
Merasa cukup dengan gambar-gambar
yang saya ambil, saya dan teman-teman saya dari Karang Taruna Tunas Inti
Kidulan, melanjutkan perjalanan ke Pancuran 7. Awalnya sempat ragu karena
penjaga yang ada di tempat tersebut menginformasikan jarak dari
Pancuran 3 ke Pancuran 7, 2 km. Sementara banyak teman-teman yang tidak membawa
bekal minum padahal perjalanan cukup jauh dan menanjak. Untung saya dan teman
saya membawa, jadi bisa dibagikan ke teman lain.
plang menuju pancuran 7 (dokpri) |
Perjalanan menuju Pancuran 7
cukup menanjak, namun jalannya sudah diberi tatanan batu dan semen. Dilihat
dari kondisi sekitar pengelolaannya sudah cukup bagus karena beberapa titik
sudah tersedia tempat sampah, sehingga tempat tersebut cukup bersih. Ini dapat
dijadikan contoh oleh pengelola wisata di tempat lain.
Akhirnya setelah
menempuh perjalanan selama 1,5 jam sampailah kami di Pancuran 7. Awal mulanya
saya berpikir pancuran 7 itu air terjun yang tinggi dan airnya jernih. Ternyata Pancuran 7 itu berupa sumber air panas, yang airnya dialirkan melalui 7 aliran dan masing-masing saluran saling berhubungan.
Fumarol (sumber gas uap air) yang terdapat di Pancuran 7 (dokpri) |
Disaat teman-teman lain mencoba
membasuh tangan dan kaki mereka dengan air dari Pancuran 7, aku justru tertarik
ke sumber gas uap air (fumarol) yang letaknya berada di sekitar Pancuran 7. Jalannya
licin dan perlu berhati-hati, untungnya saya menggunakan sandal yang sering
saya gunakan untuk berkegiatan di lapangan. Jadi cukup terbantu, dan tidak
merasakan licin. Setelah puas mengambil gambar, kami melanjutkan perjalanan
untuk kembali pulang ke Jogja, karena jam sudah menunjukkan pukul 16.00 perjalanan
yang dapat saya petik adalah ke mana pun tujuan perjalanan, kita harus selalu
siap dengan segala kondisi dan kemungkinan yang akan terjadi, dan yang paling
penting jaga selalu lingkungan kita, minimal membawa kembali sampah kita masing-masing. Salam hijau dan salam lestari :)
Komentar
Posting Komentar